Rabu, 27 November 2013
Saling menghargai dalam hubungan
Menikah atau belum, kalian harus tetap baca yang ini:
Ketika aku tiba di rumah malam itu, istriku sedang menyiapkan makan
malam. Aku memegang tangannya dan berkata, “Aku ingin membicarakan
sesuatu.” Dia duduk dan makan dengan tenang. Sekali lagi aku melihat ada
luka di matanya, namun aku tidak tahu itu apa.
Aku ingin bicara, tapi aku merasa bingung harus mulai dari mana. Akhirnya aku berkata, “Aku ingin bercerai.” Dia tampaknya tidak terganggu oleh kata-kataku, bahkan dia hanya bertanya dengan lembut. “Mengapa?”
Aku menghindari pertanyaannya. Hal ini ternyata membuatnya marah. Dia
membuang sumpit dan berteriak padaku, “kau bukan laki-laki!”
Malam itu , kami tidak berbicara satu sama lain. Dia menangis. Aku tahu
dia ingin mencari tahu apa yang terjadi dengan pernikahan kami. Tapi aku
tidak bisa memberikan jawaban yang memuaskan.
Aku memiliki Jane sekarang. Aku tidak mencintainya lagi. Aku hanya mengasihaninya!
Dengan perasaan yang amat bersalah, aku menuliskan surat perceraian
dimana istriku memperoleh rumah, mobil kami, dan 30 % saham dari
perusahaanku. Ia memandangnya sekilas dan merobek-robeknya!
Wanita yang telah menghabiskan sepuluh tahun hidupnya denganku telah
menjadi orang asing. Aku merasa kasihan padanya karena waktu dan
energinya sudah terbuang…
Tapi aku tidak bisa menjilat ludahku
sendiri karena aku mencintai Jane. Akhirnya ia menangis dengan keras di
depanku, yang sebenarnya sudah menjadi harapanku.
Bagiku, tangisannya merupakan suatu pembebasan….
Ide perceraian yang telah membuatku terobsesi selama beberapa minggu terakhir tampaknya lebih jelas sekarang.
Keesokan harinya, aku kembali ke rumah larut malam, dan menemukan dia
menulis sesuatu di meja . Aku tidak makan malam tapi langsung tidur dan
tertidur sangat cepat karena aku lelah setelah seharian bersama Jane.
Ketika aku bangun, dia masih di posisinya semula. Aku tidak peduli dan
tertidur lagi.
Di pagi hari dia memberitahu sesuatu yang cukup
janggal, sebagai permintaannya sebelum kita bercerai. Dia meminta agar
dalam satu bulan sebelum bercerai, kami berdua harus berhubungan
seperti biasa. Alasannya sederhana: anak kami akan menghadapi ujian di
sekolahnya dalam waktu satu bulan dan dia tidak ingin mengganggunya
dengan kabar buruk.
Tapi dia memiliki permintaan lain lagi.
Dia memintaku untuk menggendongnya setiap pagi, seperti saat aku
membawanya ke kamar pengantin pada hari pernikahan kami….
Dia
meminta agar setiap hari selama sebulan aku bisa menggendong dia keluar
dari kamar tidur ke pintu depan. Aku pikir dia sudah gila . Namun,
karena ini merupakan hari-hari terakhir kami bersama-sama, aku menerima
permintaannya yang aneh itu.
Aku bilang Jane tentang kondisi
ini. Ia tertawa keras dan berpikir itu tidak ada gunanya. “Tidak peduli
apa trik yang ia lakukan, ia harus menghadapi perceraian ini,” ia
mencemooh.
Aku dan istriku tidak pernah kontak badan lagi sejak
kukatakan perceraian itu secara eksplisit. Jadi ketika aku
menggendongnya keluar pada hari pertama, kami berdua tampak canggung.
Anak kami menepuk punggung kami, “Ayah membopong ibu,” kata-katanya melahirkan rasa sakit di hatiku.
Dari kamar tidur ke ruang duduk, lalu ke pintu, aku berjalan lebih dari
sepuluh meter dengan ia dalam gendongan tanganku. Dia menutup matanya
dan berkata lembut, “jangan memberitahu anak kita tentang perceraian”.
Aku mengangguk, merasa agak kesal. Aku menurunkannya di luar pintu. Dia
pergi untuk menunggu bus untuk bekerja. Aku pergi sendirian ke kantor.
Pada hari kedua, bagi kami terasa lebih mudah. Ia merebahkan diri di
dadaku. Aku bisa mencium wangi di bajunya. Aku menyadari bahwa sudah
lama aku tidak pernah begitu memperhatikannya….
Aku melihat bahwa ia tidak muda lagi. Ada kerutan halus di wajahnya. Rambutnya mulai beruban…
Pernikahan kami telah membuatnya jadi korban. Untuk sesaat aku bertanya-tanya apa yang telah kulakukan padanya.
Pada hari keempat, ketika aku mengangkatnya, aku merasakan keintiman
itu kembali. Ini adalah wanita yang telah memberi sepuluh tahun
hidupnya untukku. Pada hari kelima dan keenam, aku menyadari bahwa
keintiman kami mulai tumbuh lagi. Aku tidak memberitahu Jane tentang hal
ini.
Setelah hampir sebulan, menjadi lebih mudah untuk menggendongnya. Mungkin latihan sehari-hari membuat aku lebih kuat.
Dia memilih apa yang akan dikenakan pada suatu pagi. Lalu ia menghela napas, “semua gaunku telah membesar."
Aku tiba-tiba menyadari bahwa tubuhnya begitu kurus. Itulah alasan mengapa aku bisa membopongnya dengan ringan.
Sontak aku tersadar, dia telah mengubur begitu banyak rasa sakit dan
kepahitan di dalam hatinya. Tanpa sadar aku mengulurkan tangan dan
menyentuh kepalanya.
Anak kami masuk pada saat itu dan berkata,
“Dad, saatnya untuk membawa ibu keluar.” Baginya, melihat papanya
sedang membopong mamanya keluar menjadi bagian penting dari hidupnya.
Istriku menunjuk ke anak kami untuk mendekat dan memeluknya erat-erat.
Aku membalikkan wajah sebab aku takut aku akan berubah pikiran pada
menit terakhir ini. Aku kemudian membopongnya, berjalan dari kamar
tidur, melewati ruang duduk ke teras.
Tangannya merangkul
leherku dengan lembut dan alami. Aku menyangga badannya dengan kuat.
Persis seperti hari dimana kami menikah.
Tapi berat badannya
yang semakin ringan membuatku sedih. Pada hari terakhir, ketika aku
memeluknya dalam pelukanku, aku hampir tidak bisa bergerak
selangkahpun. Anak kami telah pergi ke sekolah. Aku memeluknya dengan
kuat dan berkata, “aku tidak menyadari bahwa kehidupan kita begitu
mesra.”
Aku pergi ke kantor. Melompat keluar dari mobil tanpa sempat mengunci pintu. Aku takut aku akan berubah pikiran.
Aku menemui Jane, dan berkata, “maaf, Jane. Aku tidak ingin bercerai
lagi. Dia menatapku heran, dan kemudian menyentuh dahiku. “Kau kenapa?”
tanyanya.
Aku lepaskan tangannya dari dahiku. “Aku tidak ingin
bercerai,” kataku. Aku lalu bercerita kalau kehidupan rumah tanggaku
berantakan bukan karena kami tidak saling mencintai lagi, tapi karena
kami kurang menghargai detail-detail dalam kehidupan kami…
Sekarang aku menyadari bahwa sejak aku membawanya ke rumah pada hari
pernikahan kami, aku seharusnya memeluknya sampai kematian memisahkan
kita.
Jane terlihat kaget. Dia menamparku dengan keras dan membanting pintu. Ia menangis. Aku menuruni tangga dan pergi.
Di toko bunga di jalan, aku membeli karangan bunga untuk istriku.
Pramuniaga bertanya kata-kata apa yang ingin kutulis dalam kartu. Aku
tersenyum dan menulis, “aku akan menggendongmu setiap pagi sampai
kematian memisahkan kita.”
Malam itu aku tiba di rumah, bunga
di tanganku, senyum di wajahku. Aku berlari naik tangga hanya untuk
menemukan istriku di tempat tidur. Dia meninggal.
Istriku
telah berjuang selama berbulan-bulan melawan kanker tapi aku begitu
sibuk dengan Jane. Dia tahu bahwa dia akan segera meninggal dan ia ingin
agar anakku tidak menyalahkanku karena aku ingin bercerai. Setidaknya,
di mata anak kami, aku suami dan ayah yang penuh kasih…
Sumber: avmediastudio.com
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=475447142574626&set=pb.416241985161809.-2207520000.1385553563.&type=3&theater

Langganan:
Posting Komentar
(Atom)
SEARCH
Categories
hobby
(1)
hobi
(1)
Hp Jadul
(1)
Islam
(1)
kamera
(1)
kehidupan
(2)
KKN PPM UGM
(1)
Koleksi Arif
(1)
Lombok Utara
(1)
Materi Kuliah
(2)
Melancong
(6)
Nabi Muhammad SAW
(1)
naluri
(1)
paper replika
(1)
paper-replika
(1)
papercraft
(1)
peri
(1)
Rasullullah
(1)
riau
(1)
Serba serbi dunia
(7)
siak
(1)
Sungai Limau
(1)
Tentang Arif Siak
(2)
Teori- Teori Pengambilan Keputusan
(1)
tuntunan hidup
(1)
Archives
-
▼
2013
(17)
-
▼
November
(14)
- Saling menghargai dalam hubungan
- Asal Usul Kamera
- Asal Usul Handphone
- Siapo Arif Siak Tu..??
- Asal Usul Printer
- SEJARAH JURUSAN MANAJEMEN DAN KEBIJAKAN PUBLIK UGM
- Serba serbi dunia..
- MATERI KULIAH
- Pulang mengenang masa SD di Desa Sungai Limau
- Siak tanah kelahiran
- Pengalaman KKN di Lombok Utara
- Serunya keliling Jogja
- Wisata dingin ke Dieng
- Pelarian ke Bali..
-
▼
November
(14)
0 komentar:
Posting Komentar